SEJARAH
HARI KESAKTIAN PANCASILA
1 Oktober adalah hari selamatnya bangsa
Indonesia dari malapetaka Gerakan 30 September (G.30.S). Selamatnya bangsa
Indonesia berkat usaha dan upaya masyarakat serta pertolongan Allah Yang Maha
Kuasa.
Pada 30 September itu telah terjadi
penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal putra terbaik bangsa
Indonesia. Mereka yang menjadi korban itu adalah : Letnan Jenderal A. Yani,
Mayjen R. Suprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S. parman, Brigjen D.I. Panjaitan,
Brigjen Sutoyo, Letnan Satu Pire Andreas Tendean, dan Brigadir Polisi Karel
Susult Tubun. Sementara Jenderal A.H. Nasution berhasil meloloskan diri dari
kepungan G.30.S PKI, meski kakinya kena tembak dan putrinya Ade Irma Suryani
menjadi korban dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Pada tanggal tersebut pemberontak
berhasil menguasai dua sarana komunikasi yaitu RRI Pusat dan Pusat
Telekomunikasi masing-masing di Jalan Merdeka Barat dan di Jalan Merdeka
Selatan. Melalui RRI pagi jam 07.20 dan jam 08.15. pemberontak mengumumkan
tentang terbentuknya “Dewan Revolusi” di pusat dan di daerah-daerah. Dewan
Revolusi merupakan sumber segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Juga diumum, gerakan tersebut ditujukan kepada “Jenderal-Jenderal” anggota
Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup terhadap pemerintah.
Pada saat bersamaan diumumkan
pendemisioniran Kabinet Dwikora. Jam 14.00 diumumkan lagi bahwa Dewan Revolusi
diketuai oleh Letkol Untung dengan wakil-wakilnya Brigjen Supardjo, Letkol
(Udara) Heru, (Laut) Sunardi dan Arjun Komisaris Besar Polisi Anwas.
Deputy
II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT,
ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI
Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, yang kemudian beliau
mendapat gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Usaha PKI untuk menculik dan membunuh
MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau
Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani
Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam
peristiwa ini Ade Irma Suryani telah gugur sebagai tameng Ayahandanya. Para
pemimpin TNI AD tersebut dan Ajudan Jenderal TNI Nasution berhasil diculik dan
dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI tersebut, kemudian secara kejam
dibuang/dikuburkan di dalam satu tempat yakni di sumur tua di Lubang Buaya
daerah Pondok Gede.
Setelah
adanya tindakan PKI dengan G 30 S/PKI-nya tersebut, maka keadaan di seluruh
tanah air menjadi kacau. Rakyat berada dalam keadaan kebingungan, sebab tidak
diketahui di mana Pimpinan Negara berada. Demikian pula halnya nasih para
Pemimpin TNI AD yang diculikpun tidak diketahui bagaimana nasib dan beradanya
pula.
Usaha untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik oleh gerombolan G 30 S/PKI dilakukan oleh segenap Kesatuan TNI/ABRI dan akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh secara kejam dan jenazahnya dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede, yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Usaha untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik oleh gerombolan G 30 S/PKI dilakukan oleh segenap Kesatuan TNI/ABRI dan akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh secara kejam dan jenazahnya dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede, yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Dari tindakan PKI dengan G 30
S nya, maka secara garis besar dapat diutarakan :
1.
Bahwa
Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut
kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai
kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30 September telah dipersiapkan jauh
sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk pemerintah
Komunis.
2.
Bahwa
tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan
mengkomuniskannya.
3.
Usaha
tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara
berlanjut.
4.
Selanjutnya
bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan
komunisme internasional.
Padahal sudah jelas bahwa Pancasila lah
satu-satunya ideologi yang sempurna dimana Pancasila ini sifatnya adalah
Universal tidak memojok pada satu golongan atau perorangan.
Dan kini pun setelah puluhan
tahun perjalanan bangsa Indonesia, Pancasila telah banyak mengalami batu ujian
dan dinamika sistem politik, mulai zaman Orde Lama dengan demokrasi
parlementer, zaman Orde Baru dengan demokrasi terpimpin hingga Orde Reformasi
saat ini dengan demokrasi multipartai. Tapi Pancasila tetap eksis dibumi
Nusantara ini, namun dewasa kini kita perhatikan, Pancasila hanya dijadikan
pajangan ditiap ruang-ruang kerja tanpa ada penghayatan dan pengamalan makna
dari Pancasila tersebut.
Direbut dalam 20 menit
Berdasarkan fakta sejarah, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Setelah menerima laporan lengkap dari Pangdam Jaya Meyjen Umar Wirahadikusumah karena pimpinan Angkatan Darat lumpuh karena penculikan-penculikan dan pembunuhan maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Berdasarkan fakta sejarah, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Setelah menerima laporan lengkap dari Pangdam Jaya Meyjen Umar Wirahadikusumah karena pimpinan Angkatan Darat lumpuh karena penculikan-penculikan dan pembunuhan maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Operasi militer dimulai sore hari
tanggal 1 Oktober 1965, pasukan RPKAD di bawah pimpinan Komandannya Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo menerima perintah untuk merebut RRI Pusat dan Pusat
Telekomunikasi. Hanya dalam waktu 20 menit kedua sarana telekomunikasi telah
direbut kembali dari tangan pemberontak G.30.S/ PKI. Melalui RRI Pimpinan
Angkatan Darat mengumumkan adanya penculikan 6 orang perwira tinggi dan perebutan
kekuasaan oleh G.30.S.
Pasukan-pasukan Batalyon 454/Para
Divisi Diponegoro dan Batalyon 530/Para Divisi/Brawijaya yang berada di
lapangan Merdeka berdiri di pihak yang melakukan pemberontakan. Kedua pasukan
ini didatangkan ke Jakarta dalam rangka Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965.
454
Difitnah dan dibunuh
Ketika dilangsungkan upacara
pemberangkatan 7 jenazah Pahlawan Revolusi korban kebiadaban aksi kontra
Revolusi G.30.S/PKI ke tempat istirahatnya yang terakhir, Menko Hankam Kasab
Jendral Nasution mengatakan, “Hari ini tanggal 5 Oktober Hari Angkatan Bersenjata
tetapi kali ini dihina oleh fitnahan, penghianatan, penganiayaan, dan
pembunuhan. Kami semua difitnah, dan kamu semua dibunuh. Kalau fitnahan itu
benar kami semua bersedia mengikuti jejakmu”.
Dikatakan selanjutnya dalam masa 20
tahun penuh, kamu telah memberi dharma bhaktimu untuk cita-cita yang tinggi.
Biarpun dicemarkan difitnah sebagai pengkhianat, tetapi kami tahu kamu telah
berjuang di atas jalan yang benar, kami tidak pernah ragu. Kami semua akan
melanjutkan perjuangan kamu. Demikian pesan Jenderal Nasution yang diucapkan
dalam nada menangis dan penuh haru.
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa
ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota
dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui
dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara
lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi
korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan
melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh
mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung
mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan
satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu
dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di
pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando
elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini.
Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang
desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan
kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa
dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja
dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000
orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen
sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto,
Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Mengapa
Suharto Menjadikan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila?
Hari Kesaktian Pancasila dilahirkan
oleh Jenderal Suharto dalam rangka melakukan
terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Sedangkan Pancasila dilahirkan
pada tanggal 1 Juni 1945 dengan Bung Karno sebagai penggalinya. Padahal sang
penggali sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai pusaka yang sakti, sehingga
menjadi sesuatu yang lahir secara wajar dan sesuai dengan keadaan obyektif pada
waktu itu. Tetapi dalam perkembangannya kemudian selama pemerintahan Bung
Karno, Pancasila senantiasa diterima oleh bangsa Indonesia sebagai dasar
berbangsa dan bernegara, dan dengan dasar Pancasila jugalah kemudian
rongrongan-rongrongan dan pemberontakan kaum reaksioner DI/TII,
PRRI/Permesta dan tindakan mereka yang membentuk Dewan Gajah, Dewan Banteng
dlsb. kemudian bisa dihancurkan dengan dukungan Rakyat.
Oleh karena Pancasila itu diterima
dan didukung oleh Rakyat, walaupun diantara para pendukung Pancasila itu
sendiri belum tentu bisa memahaminya secara jelas, namun kepercayaan atau
kecintaan Rakyat terhadap Pancasila dan penggalinya (Bung Karno) telah sangat
melekat. Hal inilah yang kemudian dimanipulasi oleh Jenderal Suharto dan jenderal-jenderal
Angkatan Darat lainnya untuk mengkhianati dan menghancurkan Pancasila dan
penggalinya sekaligus.
Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari,
yaitu hari yang sesungguhnya ketika apa yang menamakan dirinya Gerakan
Tigapuluh September atau G30S itu bergerak, setelah salah seorang pelakunya
yang juga merupakan orang terdekat jenderal Suharto yaitu Kolonel Latif
melaporkan rencananya kepada Suharto yang sedang menunggu anaknya bernama Tommy
Suharto di rumah sakit Gatot Subroto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar